Gunung merapi diketahui tengah dalam status siaga beberapa hari terakhir. Namun, akhir-akhir ini muncul sebuah video menunjukkan adanya kilatan cahaya di sekitar bagian puncaknya. Menurut PSBA (Pusat Studi Bencana Alam) UGM (Universitas Gadjah Mada), objek tersebut merupakan sebuah meteor yang tengah melintas.

Kepala Pusat Studi tersebut, Dr. Agung Harijoko, mengungkapkan bahwa video hasil rekaman cctv tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan aktivitas Merapi. Jika diperhatikan memang kilatan cahaya itu lebih seperti sebuah meteor. Munculnya benda angkasa seperti itu juga bukan hal yang aneh di antariksa.

Kemunculannya lebih diakibatkan oleh proses luar angkasa. Sebelumnya memang ramai pemberitaan tentang fenomena ini. Lebih tepatnya video dihasilkan oleh rekaman kamera pengawas atau CCTV yang sengaja dipasang untuk mengamati bagian puncak gunung. Menariknya, kilatan tak hanya terjadi sekali saja.

CCTV dari BPBD Sleman memberikan fakta bahwa kilatan cahaya memang melintas di puncak Merapi. Kejadian tersebut terjadi di tanggal 8 November 2020 pada jam 7 malam. BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) DIY pun memberikan pendapatan serupa bahwa objek yang terlihat adalah bintang jatuh.

Orang awam mungkin menganggap fenomena meteor sebagai momen langka. Namun, Agus Riyanto sebagai kepala BMKG Yogyakarta mengatakan bahwa dalam dunia antariksa hal ini lazim dan cukup sering terjadi. Tak ada hal menakutkan mengingat sebelum sampai ke bumi, benda langit tersebut akan terkikis habis oleh lapisan atmosfer bumi.

Pola Bintang Jatuh tidak Terprediksi

Masih menurut Agus Riyanto, pola bintang jatuh memang susah untuk diprediksi sebelumnya. Kejadiannya terjadi secara periodic. Ini artinya, tak ada seorangpun yang bisa mengatakan meteor akan banyak terjadi di bulan A, B, dst. Di lain sisi, BMKG pun tak melakukan pengamatan khusus untuk memantau setiap benda-benda langit.

Hal ini wajar mengingat secara tupoksi mengamati dan memantau benda tersebut adalah tugas dari Lapan. Fakta menarik diungkapkan oleh BPPTKG (Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi) yang mencatat tentang laju deformasi di Gunung Merapi. Mereka menggunakan daerah Babadan, Sleman sebagai lokasi pengamatan.

Area di Yogyakarta ini memang sangat strategis untuk memantau data. Menurut laporan per hari ini, Gunung Merapi mencatatkan laju deformasi sekitar 13cm per hari sebagai angka rata-rata. Pengukuran dilakukan mendetail dengan menggunakan EDM atau electronic distance measurement di daerah Babadan, Sleman – DIY.

Sebelumnya, laju deformasi tercatat berubah-ubah dengan nilai antara 11 hingga 13cm setiap harinya. Asap kawah pada bagian puncak pun terpantau di kisaran 50 sampai 75 meter. Asap kawah tersebut memiliki warna putih dengan intensitas sedang sampai dengan tebal. Banyaknya kegiatan kegempaan pun selalu dicatat.

Pada suatu waktu, Gunung Merapi sempat mencatat gempa guguran sebanyak 31 kali, fase banyak 136 kali, hingga hembusan 31x. Vulkanik dangkal juga terjadi dengan jumlah 25 kali. Namun, angka tersebut naik turun. Gempa tektonik pun sempat dilaporkan terjadi sebanyak satu kali di hari Kamis yang lalu.

Status Terbaru Gunung Merapi

Pihak BPPTKG mengungkapkan bahwa hingga saat ini Merapi masih berada di level III atau siaga. Pihaknya menghimbau agar seluruh kegiatan pariwisata, pertambangan, serta lainnya di sekitar area gunung sebaiknya ditiadakan terlebih dahulu. Langkah penting untuk menyelamatkan jiwa harus didukung penuh terutama oleh masyarakat.

Secara lebih detail aktivitas yang dimaksud adalah penambangan pada banyak alur sungai yang menggunakan Gunung Merapi sebagai hulunya dalam KRB III. Para pelaku usaha pun dihimbau untuk tak melakukan aktivitas pariwisata di KRB III. Termasuk pula kegiatan pendakian menuju ke area puncak. Semua dihentikan secara total.

Magelang sebagai salah satu tempat yang terdampak, melalui Pemkab, mengambil kebijakan bagi semua pihak. Diketahui bahwa sekitar 35 titik lokasi pengungsian ditambah guna mengantisipasii erupsi yang mungkin saja terjadi. Sebagian besar lokasi pengungsian memang menggunakan gedung sekolah dengan ukuran cukup besar.

Pemilihan gedung sekolah sudah didasarkan pada berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah masa pandemi yang membuat bangunan tersebut tak digunakan sementara waktu. Dengan begitu, maka memilihnya sebagai tempat mengungsi adalah langkah bijak. Bilik – bilik pun dibuat dalam gedung sebagai langkah menambah kenyamanan.

Salah satu sekolah yang digunakan adalah SMP Negeri 1 Kota Mungkid. Berbagai persiapan disana telah dilakukan. 6 ruang kelas ada disana dan setiap kelas sudah dibuat menjadi tujuh bilik. Artinya, nanti akan ada sekitar 42 ruang bilik disana yang dapat ditempati oleh 42 KK (Kepala Keluarga).

Detail Lokasi Pengungsian di Magelang

Menurut Edy Susanto selaku Kepala Pelaksana BPBD Magelang, ada Sembilan titik untuk ditempati para pengungsi kelompok rentan. Mereka berasal dari 11 dusun di 4 desa. Lalu, sekarang jumlah titiknya ditambah menjadi 35 dengan total 1313 bilik yang tersedia. Secara total, terdapat 1028 KK tinggal disana.

Meskipun sudah tersedia sejumlah 1313, namun pemerintah Kabupaten Magelang tetap menyediakan bilik kosok guna cadangan. Sekali lagi, ketersediaannya hanya untuk 11 dusun, belum semua dusun. Di Magelang, pengungsi berasal dari Desa Krinjing, Paten, serta Ngargomulyo. Ada tambahan lagi dari satu tempat.

Tempat tersebut adalah Desa Keningar dimana warganya memutuskan untuk mengungsi karena mereka khawatir jika letusan akan seperti di tahun 2010 lalu. Apabila dijumlahkan, maka total ada 30 dusun dari Desa Keningar. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupatan Magelang, Aziz Amin, mengungkapkan fakta tentang lokasi pengungsian.

Dirinya menginformasikan jika SMP dan SD wilayah Kecamatan Muntilan, Salam, Mertoyudan, serta Mungkid akan disiapkan. Semuanya nantinya diproyeksikan sebagai lokasi pengungsian, terutama untuk warga dari empat desa. Pihaknya sudah mempersiapkan TEA (Teampat Evakuasi Akhir) dan non-TEA. Sekolah adalah contoh non-TEA dalam kasus ini.

Beberapa Pengungsi Gunung Merapi Mengeluhkan Sakit

Sekitar 123 pengungsi Gunung Merapi yang ada di Barak Balai Kelurahan Glagaharjo Cangkringan, Sleman, mengeluhkan sakit. Mayoritas mereka yang mengalami keluhan kesehatan berasal dari golongan usia lanjut atau lansia. Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Joko Hastaryo membenarkan hal tersebut ketika ditemui oleh wartawan.

Menurut laporan terakhir sejak tanggal 7 November 2020, sekitar 123 pengungsi memang memiliki keluhan kesehatan. Jumlah total pengungsi di Glagaharjo sendiri hingga tadi malam adalah 198 orang. Namun, sakit yang dimaksud pun hanya keluhan biasa atau ringan. Tak ada warga yang harus dirujuk karena tidak parah.

Sakit yang dikeluhkan oleh para lansia hanya sekitar perut kembung, pusing, pegal linu, dan sebagainya. Tidak terdapat penyakit serius seperti diare dan bahkan rujukan ke Puskesmas pun nihil. Sementara itu, pengungsi anak-anak tidak didapati masalah. Pos kesehatan dan petugas selalu siap siaga guna memantau kesehatan warga.

Dalam pos tersebut tersedia obat-obatan yang mencukupi. Prosedurnya memang jika bisa ditangani, maka akan ditangani di Pos. Namun, apabila memang penyakitnya cukup serius, maka rujukan ke puskesmas atau bahkan rumah sakit bisa diberikan. Joko menambahkan bahwa vitamin untuk anak dan lansia pun mencukupi.